Translate

Rabu, 23 Juli 2014

info dari http://songkokbone.blogspot.com/

Ada Berapa Macam Sebutan Songkok Bone ?

Sebagian orang menyebutnya songkok to Bone. Ada juga yang menyebut songkok pamiring dan sebagian lagi menyebut songkok recca’. Bentuknya bulat dengan bagian atas rata dan berlubang kecil di bagian tengah atas. Umumnya berwarna hitam, coklat, atau krem—di bagian atas—dipadu warna keemasan di bagian tengah ke bawah.
Sebutan songkok bone yang banyak diucapkan orang-orang luar Bone, Sulawesi Selatan, agaknya terkait dengan sejarah pembuat songkok itu, yaitu orang-orang Bone, khususnya di Awangpone. Sebutan songkok pamiring lebih menunjuk ujung atau sisi bagian bawah songkok yang berhias warna keemasan. Biasanya jika bagian bawah berhias benang emas, sebutannya songkok pamiring, tetapi bila menggunakan emas sungguhan, disebut songkok pamiring ulaweng (songkok bersisi emas).
Di Bone sendiri orang-orang lebih menyebutnya songkok recca’. Sebutan recca’ lebih menunjuk pada proses pembuatannya, yaitu pelepah lontar dipukul-pukul (recca’) hingga menjadi serat.
Tak jelas sejak kapan dan siapa yang pertama memopulerkannya di luar Sulawesi Selatan (Sulsel). Yang pasti, songkok tersebut sudah menyebar ke mana-mana dan dikenakan banyak orang di Nusantara, mulai dari masyarakat biasa, selebritas, tokoh politik, pejabat negara, bahkan orang asing. Tak terbilang lagi segala lapisan orang yang mengenakannya di sejumlah acara di banyak tempat, entah acara formal maupun tak resmi.
Ada yang memadankannya dengan setelan jas, ada pula yang menggunakannya sebagai pelengkap kemeja atau pakaian lainnya. Singkatnya, songkok, yang pada mulanya semata-mata hanya digunakan untuk pelengkap busana adat semata dan hanya dipakai pada acara-acara adat resmi, kini sudah menjadi pelengkap beragam jenis busana di banyak tempat dan berbagai acara. Di Sulsel lazimnya songkok itu dipadupadankan dengan pakaian adat yang dikenakan pria berupa sarung sutra dan jas berkancing depan dengan kerah ala pakaian tradisional China.
Tamu-tamu asing atau wisatawan yang berkunjung ke Sulsel umumnya gemar mengenakan songkok recca’ dan membawanya pulang untuk oleh- oleh.
Berbalut emas
Sebenarnya kalau melihat bahan dasarnya, tidak ada yang istimewa dari songkok tersebut. Bahan-bahan maupun cara pembuatannya biasa-biasa saja. Sebut saja pelepah pohon lontar yang dipukul-pukul dan diurai hingga menjadi serat yang halus. Untuk membuatnya berwarna hitam atau coklat, digunakan pewarna alami dari beragam buah dan biji-bijian, bahkan lumpur sawah. Bahan lainnya adalah benang berwarna keemasan dan beberapa helai bulu rambut kepala kuda yang digunakan sebagai pembatas antara ujung bagian atas tengah songkok dan bagian lainnya.
Yang membuatnya istimewa adalah bila songkok ini berada di kepala orang-orang atau tokoh penting, terkenal, dan semacamnya. Menjadi lebih istimewa lagi jika benang keemasan yang menghias pinggiran songkok itu diganti dengan emas sungguhan. Terlebih jika susunan emas yang sebelumnya dilebur dan dibuat menyerupai benang itu cukup tinggi dan hampir menutupi seluruh sisi songkok.
Tak jelas sejak kapan emas digunakan sebagai salah satu bagian penting dari songkok recca’. Yang jelas, saat ini penggunaan emas hampir mendominasi pembuatan songkok recca’, terutama yang digunakan kalangan pejabat, orang-orang penting, dan kalangan berpunya. Hampir serupa kasta, emas bahkan menjadi parameter derajat dan kekayaan pemakai songkok ini.
"Umumnya yang saya buatkan songkok dengan pinggiran emas adalah songkok milik petinggi atau orang penting seperti gubernur, turunan bangsawan, bupati, orang-orang kaya, dan seperti itu. Saya juga banyak membuat songkok yang akan dihadiahkan kepada pejabat-pejabat negara atau menteri, bahkan tamu asing yang berkunjung ke Sulsel," kata Rahman, pembuat songkok recca’ di Desa Paccing, Kecamatan Awangpone, Kabupaten Bone, beberapa waktu lalu.
Di Bone, Rahman adalah satu dari tiga ahli pembuat songkok yang menggunakan emas sebagai bahan penghias songkok. Dua lainnya adalah Aming dan Nabisa. Di Bone, terutama di Kecamatan Awangpone, banyak yang pandai membuat songkok recca’. Namun, yang membuat songkok dari emas tak banyak jumlahnya. Karena hanya sedikit, ketiga perajin itu hampir tahu siapa-siapa saja orang penting yang pernah mereka buatkan songkok.
"Dari pejabat-pejabat, menteri, Wakil Presiden era kepemimpinan Megawati, ketua-ketua partai, anggota DPR, sampai sejumlah pengusaha kaya, baik yang di Jakarta maupun daerah lain. Tidak terhitung lagi pejabat-pejabat lokal," kata Rahman.
Dari pengalamannya membuat songkok, Rahman pernah membuat songkok yang emasnya mulai dari 15 gram hingga yang totalnya 100 gram. Songkok yang emasnya mencapai 100 gram dijual dengan harga Rp 20 juta. Selain kadar emas, harga songkok itu juga dipengaruhi proses pembuatannya yang agak rumit dan memakan waktu 15 hari hingga hampir satu bulan. Pembuatan itu terhitung sejak batang lontar dimemarkan.
Songkok tanpa emas harganya beragam, Rp 30.000-Rp 70.000. Harga songkok non-emas dipengaruhi oleh kehalusan serat lontar dan kerapian songkok.
Di Bone, pembuatan songkok sejak awal hingga penyelesaian akhir dilakukan di tempat yang berbeda-beda kendati semuanya masih satu kecamatan, di Awangpone. Kecuali penyelesaian akhir—yang meliputi pembentukan songkok sesuai dengan ukuran kepala dan penambahan benang emas atau emas sungguhan yang dilakukan perajin di Desa Paccing—proses awal dilakukan di sejumlah desa lain.
Proses awal itu antara lain memukul-mukul pelepah lontar menjadi serat halus, pewarnaan, sampai menganyam serat lontar menjadi songkok. Selanjutnya, meneruskan anyaman dan membuat bentuk hingga memberi tambahan benang emas maupun emas.
Pergeseran
Tentang penggunaan emas pada songkok recca’, A Mappasissi Petta Awangpone, salah satu keturunan bangsawan Bone yang saat ini menjadi Pemangku Adat Bone, mengatakan, pada awalnya penggunaan emas itu tak dikenal. Bahkan model yang sekarang ini dikenal banyak orang sudah merupakan pergeseran dari model awal yang dikenakan raja-raja Bone.
"Kalau dulu, modelnya bulat, tak terlalu tinggi, dan bagian atasnya agak runcing, persis seperti model topi orang Tionghoa. Pinggirannya pun bukan emas sungguhan, tapi kain berwarna emas. Entah sejak kapan songkok ini berubah bentuk dan menggunakan emas. Tapi memang sejak dimulainya penggunaan emas pada songkok, raja, para pembesar, atau bangsawan umumnya menggunakan songkok yang dibuat dari emas," katanya.
Mappasissi menambahkan, dulu songkok berhias emas sungguhan hanya digunakan oleh raja, pembesar, dan keluarga bangsawan. Rakyat biasa enggan menggunakannya sekalipun punya uang untuk membuat songkok berbalut emas. Kalaupun ada orang kaya yang bukan keluarga raja atau bangsawan yang menggunakan songkok berbalut emas, kadar emasnya tak boleh melebihi kadar emas songkok yang dikenakan raja. Dengan kata lain, susunan anyaman emas di bagian sekeliling songkok tak boleh lebih tinggi daripada yang dimiliki raja. "Tapi sekarang karena zamannya sudah beda, siapa pun, asal suka dan mau, boleh membuat dan mengenakan songkok dari emas," kata Mappasissi.
Agaknya, karena alasan itu pula songkok recca’ kini bukan lagi menjadi milik orang Sulsel, tetapi menjadi milik siapa pun yang suka mengenakannya. Bahkan songkok recca’ tak lagi dibuat di Bone saja, tetapi juga sudah dibuat perajin di sejumlah kabupaten lain di Sulsel. Hal ini pula yang mungkin membuat songkok recca’ sudah melanglang buana dari Bone, keliling Indonesia, bahkan dunia.

Rabu, 29 Agustus 2012

Songkok To Bone (Songkok Recca)


SONKOK TO BONE Songkok Recca’ terbuat dari serat pelepah daun lontar dengan cara dipukul-pukul (dalam bahasa Bugis : direcca-recca) pelepah daun lontar tersebut hingga yang tersisa hanya seratnya. Serat ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan. Untuk mengubah menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari.
Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi hitam. Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar, sehingga untuk membuat songkok recca’ yang halus maka serat haluslah yang diambil dan sebaliknya serat yang kasar menghasilkan hasil yang agak kasar pula tergantung pesanan. Untuk menganyam serat menjadi songkok menggunakan acuan yang disebut Assareng yang terbuat dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok. Acuan atau assareng itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.

Sejak kapan munculnya Songkok Recca’ (Songkok To Bone)?
Songkok recca’ (songkok to Bone) menurut sejarah, muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tator tahun 1683. Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan songkok recca’ sebagai tanda untuk membedakan dengan pasukan Tator.
Pada zaman pemerintahan Andi Mappanyukki (raja Bone ke-31), songkok recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata sipemakainya.
Akan tetapi lambat laun hingga sekarang ini siapapun berhak memakainya. Bahkan beberapa kabupaten di Sulawesi memproduksinya sehingga dapat dikatakan, bahwa songkok recca yang biasa juga disebut sebagai Songkok To Bone yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa orang Bone tersebut mendapat apresiasi baik dari masyarakat Sulawesi maupun Indonesia pada umumnya.
Di Kabupaten Bone Songkok Recca/Songkok To Bone diproduksi dihampir semua desa dan Kelurahan di Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone, namun taraf finishing di lakukan di Desa Paccing. Di daerah tersebut terdapat terdapat komunitas masyarakat secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil prosese mengayam pelepah daun lontar ini yang disibut Songkok Recca atau Songkok To Bone.